Jangan lupa membaca artikel tentang bisnis di > Informasi bisnis terbaik 2020.
![]() |
Ilustrasi Bimtek Guru |
Pemerataan jumlah guru memang masih menjadi masalah karena tidak semua guru khususnya yang berstatus wiyata mau ditempatkan di luar Jawa. Pertumbuhan jumlah guru yang relatif pesat tersebut mungkin saja disebabkan karena harapan bagi guru- guru yang wiyata diangkat menjadi guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Oleh karena itu, berbondong- bondonglah lulusan sekolah pendidikan guru mencari sekolah- sekolah negeri untuk dijadikan tempat wiyata.
Ada sebuah contoh situasi yang menarik, seorang mahasiswa lulusan S1 kependidikan jurusan Bahasa Indonesia mengabdi menjadi guru kelas di sekolah dasar negeri, dan meskipun sudah mengantongi ijazah S1, namun kemudian rela kuliah kembali dengan jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dengan harapan suatu saat bisa tercantum datanya dan suatu saat pula bisa tersaring menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Nah, bagaimana dengan guru honorer, guru wiyata, guru swasta? Bagaimanakah nasib dan kesejahteraannya?
Sebuah riset yang menyatakan bahwa sektor pendidikan mempunyai pendapatan yang paling rendah dibandingkan sektor yang lain. Melihat dari fakta yang ada sekarang ini, masih banyak guru honorer, guru swasta, dan guru wiyata yang hidup di jauh dari layak. Dan sudah menjadi rahasia umum juga bahwa guru- guru tersebut hanya memperoleh gaji atau tunjangan yang sama sekali dibawah dari gaji yang standar untuk hidup. Sebagai contoh seorang guru swasta yang belum bersertifikasi mengajar di sekolah swasta dengan kondisi yayasan yang pas-pasan sebenarnya hanya mendapatkan gaji dengan perhitungan mengajar selama satu minggu saja. Misalnya per jam nya hanya Rp. 20.000, maka ketika dia mengajar per minggunya 12 jam, dalam satu bulan dia hanya digaji sebesar Rp. 240.000,-. Maka hidup dengan gaji sebesar itu untuk berbagai kebutuhan hidup sekarang ini, tentu saja masih jauh dari layak.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya dulu pernah mengajukan kredit pemilikan rumah (KPR), mungkin saja salah satu pertimbangan yang membuat saya tidak “diapprove” adalah karena pekerjaan saya yang hanya menjadi seorang guru swasta dengan gaji honor per jam mengajar. Mungkin saja dari pihak pengembang atau bank saat itu, kurang begitu yakin bahwa guru swasta bisa mengangsur atau melunasi seluruh biaya kredit sampai dengan batas waktu yang disepakati. Situasi tersebut mungkin saja terjadi pada kehidupan rekan- rekan guru yang lain dan itu hanyalah potret dalam kehidupan seorang guru swasta yang menginginkan sebuah kehidupan yang layak untuk mempunyai rumah bagi keluarganya.
Sangat memprihatinkan memang bila memperhatikan situasi, kondisi, dan keadaan rekan- rekan guru yang masih belum berkesempatan dijamin kehidupannya oleh pemerintah. Namun, dalam hal ini yang perlu digarisbawahi adalah sebenarnya motivasi awal kita menjadi guru adalah sebuah pengabdian. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah pengabdian yang tulus yang akan membuat dan membawa hidup menjadi berkah. Banyak rekan- rekan guru yang sukses meskipun masih berstatus swasta atau honorer, semua tergantung bagaimana kita memanfaatkan peluang, kemampuan dan keahlian kita.
Harapannya kualitas hidup bagi para guru dan tenaga pendidik di Indonesia, terutama mereka yang berada di daerah dan masih mendapatkan penghasilan rendah di bawah rata-rata bisa meningkat. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat, mohon maaf bila ada kekurangan dan salah kata.
Salam. Hidup Guru.
Sumber http://www.ahzaa.net/
Selain sebagai media informasi pendidikan, kami juga berbagi artikel pemrograman.